Apa
yang dipahami dari sebuah janji, adalah bukti dituntaskannya kata yang
terucap. Sementara pembuktian, hanyalah proses yang tak pernah
terpahami.
***
Sebuah bukti ketulusan
yang kau hadiahkan padaku, terwujud dalam sebotol parfum yang masih
tersisa setengahnya. Bukan menyia-nyiakan, terlebih menganggap remeh
pemberianmu. Hanya saja, aku tak ingin ketulusanmu itu berlalu begitu
cepat, menguap tanpa jejak setelah meresap lewat pori-pori dan denyut
nadiku. Lalu, menjadi materi kosong yang diam-diam mengakhiri kesan dan
kenang.
Kuberikan juga sebuah
jaket dengan warna kesukaanmu. Bukan untuk membalas atau sekadar
menumbuhkan bunga-bunga di kepala dan perasaanmu. Tapi, sebagai bukti
bahwa aku menjaga dan menyayangimu. Sebab aku tahu, ringkih tubuhmu tak
pernah sanggup menahan dingin berlebih.
Murah bukan?
Lalu kau katakan,
bukan seberapa tinggi nilai materi yang bisa menyenangkanmu. Tapi
seberapa besar usaha yang kulakukan untukmu. Meski kenyataannya, materi
adalah bukti akhir dari sebuah usaha. Jika memang demikian, sampai kapan
pun aku tak pernah bisa menyenangkan terlebih memuaskanmu. Bukankankah
usaha dan materi adalah bentuk kewajiban menerus?
Ya, mungkin seperti
itulah yang kupahami, bahwa menyenangkanmu adalah kewajiban yang tak
terhenti hanya pada satu atau dua materi. Tak tertakar oleh satu dan dua
peristiwa. Tak terukur oleh detik-detik waktu yang berlalu.
Seperti juga, tak
pernah kutemukan alasan mengapa aku mencintaimu. Sebab, mencintaimu
adalah misteri yang tak terpecahkan hanya oleh senyum di bibirmu,
indahnya bola matamu, cara bicaramu, caramu menatapku atau hal-hal
menarik lain darimu. Mencintaimu, adalah janji yang terlontar melebihi
batas kesadaran yang pernah tercekat di sela-sela kerongkonganku.
Maka, pahamilah! Janjiku bukanlah ucap yang memerlukan bukti. Melainkan utang yang tak pernah bisa dilunasi.
Sampai entah.
***
Di sini, sejak kemarin hujan merajai hari.
Kisah menahun yang mengawali ribuan doa dan harap, sebagai sajak hidmat
dari jejak lahirmu. Dan aku, hanyalah satu dari ribuan rintik doa yang
hadir di pertengahan musim. Berharap selalu menapak di jalan takdirmu,
meski tanpa bunga juga cahaya panas lilin kecil yang menari di atas
manisnya tart. Hanya doa, hanya harap senyap, yang tak lenyap hingga
musim melindap.
Sekali pun dingin, sekali pun pahit.
Adalah sebab, segala ucap dan doa kupanjat di satu hari yang lebih cepat.
***