Sabtu, 07 Desember 2013

Untuk Hari Ke Delapan Di Akhir Tahun

Apa yang dipahami dari sebuah janji, adalah bukti dituntaskannya kata yang terucap. Sementara pembuktian, hanyalah proses yang tak pernah terpahami.
1386407202610865432
***
Sebuah bukti ketulusan yang kau hadiahkan padaku, terwujud dalam sebotol parfum yang masih tersisa setengahnya. Bukan menyia-nyiakan, terlebih menganggap remeh pemberianmu. Hanya saja, aku tak ingin ketulusanmu itu berlalu begitu cepat, menguap tanpa jejak setelah meresap lewat pori-pori dan denyut nadiku. Lalu, menjadi materi kosong yang diam-diam mengakhiri kesan dan kenang.
Kuberikan juga sebuah jaket dengan warna kesukaanmu. Bukan untuk membalas atau sekadar menumbuhkan bunga-bunga di kepala dan perasaanmu. Tapi, sebagai bukti bahwa aku menjaga dan menyayangimu. Sebab aku tahu, ringkih tubuhmu tak pernah sanggup menahan dingin berlebih.
Murah bukan?
Lalu kau katakan, bukan seberapa tinggi nilai materi yang bisa menyenangkanmu. Tapi seberapa besar usaha yang kulakukan untukmu. Meski kenyataannya, materi adalah bukti akhir dari sebuah usaha. Jika memang demikian, sampai kapan pun aku tak pernah bisa menyenangkan terlebih memuaskanmu. Bukankankah usaha dan materi adalah bentuk kewajiban menerus?
Ya, mungkin seperti itulah yang kupahami, bahwa menyenangkanmu adalah kewajiban yang tak terhenti hanya pada satu atau dua materi. Tak tertakar oleh satu dan dua peristiwa. Tak terukur oleh detik-detik waktu yang berlalu.
Seperti juga, tak pernah kutemukan alasan mengapa aku mencintaimu. Sebab, mencintaimu adalah misteri yang tak terpecahkan hanya oleh senyum di bibirmu, indahnya bola matamu, cara bicaramu, caramu menatapku atau hal-hal menarik lain darimu. Mencintaimu, adalah janji yang terlontar melebihi batas kesadaran yang pernah tercekat di sela-sela kerongkonganku.
Maka, pahamilah! Janjiku bukanlah ucap yang memerlukan bukti. Melainkan utang yang tak pernah bisa dilunasi.
Sampai entah.
***
Di sini, sejak kemarin hujan merajai hari.
Kisah menahun yang mengawali ribuan doa dan harap, sebagai sajak hidmat dari jejak lahirmu. Dan aku, hanyalah satu dari ribuan rintik doa yang hadir di pertengahan musim. Berharap selalu menapak di jalan takdirmu, meski tanpa bunga juga cahaya panas lilin kecil yang menari di atas manisnya tart. Hanya doa, hanya harap senyap, yang tak lenyap hingga musim melindap.
Sekali pun dingin, sekali pun pahit.
Adalah sebab, segala ucap dan doa kupanjat di satu hari yang lebih cepat.
***
~hers,071213
ilustrasi:
fhi3na.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar