Kamis, 07 Februari 2013

Kekerasan: Parodi Eksistensi Kehidupan


Tak perlu ditanya kenapa atau bagaimana kekerasan itu bisa hadir. Yang lebih penting adalah, bagaimana manusia mengenal kekerasan? Tentunya sangat berkaitan dengan masalah sosialisasi dan internalisasi.”

—Herlambang. S. W

MENILIK  MASALAH kekerasan, memang tak pernah habis untuk dibicarakan. Cerita dari waktu ke waktu membuktikan, bahwa kekerasan sudah ada semenjak turunan pertama Adam-Hawa.  Cerita yang bukan hanya cerita, tetapi sudah menjadi bagian keimanan dari pemeluk agama samawi. Sebagai bagian dari iman, tentu saja cerita tersebut sifatnya dogmatis dan bukan untuk diperdebatkan.

Atau dalam epos Mahabarata yang sangat terkenal di penjuru dunia. Jelas sekali digambarkan bagaimana benturan dua sisi dari sifat manusia, —baik-buruk, benar-salah dan sebagainya. Sayangnya benturan tersebut harus diselesaikan dengan wujud masif kekerasan. Pertempuran di Kuru Setra, yang menghabiskan hampir semua wangsa Baratha terutama wangsa Kuru atau Kurawa.

Pertempuran yang akhirnya dianggap menyimpan pesan moral, bahwa kebenaran , kebaikan dan segala nilai ideal yang diharapkan dalam kehidupan, akan selalu menang. Sesuatu yang terasa naif, karena kekerasan kemudian diabaikan dan seolah menjadi pembenaran jika dilakukan atas dasar nilai-nilai ideal tersebut.

Melangkah jauh setelah epos tersebut, sejarah dunia kembali mencatat kekerasan masif umat manusia melalui Perang Dunia 1 dan 2. Bukan tentang apa alasan perang tersebut bisa terjadi, hanyalah  bukti lain bahwa sifat agresi manusia selalu lebih menonjol, terlepas di pihak mana ia berada. Pertempuran-perlawanan, bukankah keduanya mengandung unsur kekerasan? Bahkan dalam diplomasi sekalipun, kekerasan lisan atau tulisan selalu turut serta dengan penekanan atau intonasi.

Masa-masa peperangan, memang telah berakhir bagi beberapa negara. Namun, apakah itu berarti berakhir pula kekerasan? Jawabnya, tidak! Bahkan di negara yang mengedepankan hukum sekalipun. Terutama dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, kekerasan telah berevolusi dan bermutasi ke bentuk lain yang bersifat laten. Ia hadir  dalam ragam kamuflase visual dan leksikal, dalam tayangan dan buku-buku cerita. Sayangnya, bentuk bentuk tersebut telah menjadi komoditas keseharian sehingga jarang disadari. Pembiasaan dan pembiaran yang kemudian dianggap sebagai suatu hal yang biasa, lumrah atau wajar.


TAK PERLU DITANYA kenapa atau bagaimana kekerasan itu bisa hadir. Yang lebih penting adalah, bagaimana manusia mengenal kekerasan? Tentunya sangat berkaitan dengan masalah sosialisasi dan internalisasi.

Dalam teori sosial dan kemasyarakatan dikatakan bahwa, keluarga adalah agen sosialisasi pertama dan utama yang juga merupakan struktur terkecil dari masyarakat. Itu berarti bahwa keluarga memiliki peranan dan tanggungjawab terpenting dalam meletakkan nilai-nilai ideal bagi individu sebelum memasuki kehidupan bermasyarakat.

Pada tataran ini, pendekatan sosialisasi lebih dilihat sebagai pola asuh keluarga. Orang tua pasti pasti akan mengajarkan anaknya untuk bersikap dan bertingkah laku baik. Contoh sederhana, orang tua akan melarang anaknya untuk memukul atau mencubit orang lain. Namun apakah larangan dan ajaran tersebut bisa dimengerti oleh anak? Sepertinya, semua sudah tahu jawabannya. Anak akan menurut, tapi belum tentu paham —bisa jadi tak mungkin paham.

Di era modern yang ditandai dengan perguliran arus informasi dan teknologi yang sangat deras. Tak bisa dipungkiri jika pola asuh kemudian dibubuhi dengan pengenalan teknologi. Bahwa siapapun orang tua pasti akan mengajak atau meninggalkan anaknya untuk menonton TV, itu adalah kewajaran. Dianggap lebih wajar lagi jika orang tua menyeleksi tontonan anaknya pada tayangan-tayangan yang sesuai dengan kategori usianya. Pada tahap ini sosialisasi teknologi telah berproses.

Sebuah kenyataan, jika film kartoon adalah tayangan yang dianggap cocok dan tidak berbahaya untuk anak. Adalah sebuah pemahaman orang tua yang memang diwariskan dari generasi di atasnya. Pemahaman yang telah terinternalisasi (mendarah daging). Namun jika diamati, berapa banyak film kartoon yang tidak mengandung unsur kekerasan? Kiranya tak perlu data statistik untuk membuktikan kenyataan, bahwa sebagian besar memang mengandung unsur kekerasan.

Contoh kongkret adalah film tentang kucing dan tikus yang telah bertahan selama puluhan tahun dan menjadi ikon dunia. Kedua tokoh yang diceritakan selalu bermusuhan itu tak pernah segan  untuk melakukan adegan kekerasan yang bahkan di luar nalar manusia. Atau film-film yang bertemakan pertempuran.

Kita boleh saja berkilah, apa yang terjadi dalam film tersebut hanyalah fantasi belaka. Namun, perlu diingat juga, bahwa seorang anak selain memiliki daya imaginasi yang tinggi  ia juga memiliki naluri dan sifat meniru yang sama tingginya. Artinya, setiap anak pasti memiliki kemampuan untuk merekam apa yang ditangkap panca inderanya, lalu diolah dalam imajinasinya.

Olahan imajinasi tersebut, direalisasikan dalam bentuk-bentuk sederhana. Misalkan saja, anak-anak pasti senang menabrak-nabrakkan mobil mainannya atau memiliki ketertarikan untuk memukul semut hingga mati. Dari mana ia bisa merealisasikan tindakkan tersebut, jika bukan dari hasil pengamatan dan olahan imajinasinya? Itu pun berarti bahwa imajinasi selalu diawali dengan proses pengamatan panca indera, terutama indera penglihatan.

Seorang anak belum memahami konsep kekerasan, itu betul. Namun pada tahap di atas proses pengenalan terhadap kekerasan telah terjadi, inilah bibit-bibit internalisasi kekerasan. —Belum lagi jika melihat tayangan lain yang marak dalam balutan genre komedi.

Seiring pertambahan usia, anak mulai dikenalkan dengan buku. Sebelum memiliki kemampuan literasi (baca-tulis), anak biasanya diperkenalkan pada buku-buku bergambar. Tak ada pengaruh besar dalam tahap ini, karena orang tua biasanya hadir dan membimbing anaknya. Namun, ketertarikan anak akan semakin berkembang sejalan dengan tumbuh kembangnya. Hingga ia mulai mampu menafsirkan apa yang dilihat. —Sepertinya, pembahasan tentang buku sepertinya akan semakin meluas. Mungkin saya akan membahasnya pada kesempatan lain.


ILUSTRASI PERNYATAAN di atas, jelas sekali menunjukkan bahwa kekerasan adalah bagian yang tidak lepas dari kehidupan. Jika ditanya apakah kekerasan bisa dihilangkan? Jawabnya sudah  pasti, tidak. Alasannya jelas, pengenalan terhadap kekerasan selalu diberikan secara tidak sadar, semenjak individu masih berada dalam asuhan keluarga.

Selain telah terinternalisasi dalam hal-hal kecil yang dianggap wajar, penerapan sudut pandang lain tentang oposisi biner, setidaknya bisa juga dipakai dasar penjelasan.

Pemahamannya, bahwa semua konsep yang ada di dunia ini, selalu berjalan berdasarkan dua sisi yang berbeda. Artinya, selalu ada lawan yang tegas untuk setiap konsep sebagai pembanding — hidup-mati, terang-gelap, panjang-pendek, besar-kecil dan seterusnya, termasuk kekerasan-kelembutan.

Menghilangkan salah satu konsep, berarti mengabaikan konsep pembandingnya. Secara ekstrim, menghilangkan kekerasan berarti juga menghilangkan kelembutan. Bukankah sesuatu disebut ada karena adanya sesuatu lain yang menjadi pembandingnya? Tak mungkin ada besar jika tak ada kecil, tak mungkin ada benar jika tak ada salah dan seterusnya.

Karena tatanan oposisi biner, hal yang sama pastinya akan terjadi saat kelembutan dihilangkan, secara otomatis kekerasan pun akan hilang. Kenapa demikian? Sederhana saja, karena tak ada lagi pembanding untuk dijadikan parameter. Pertanyaan sekaligus pernyataan dasarnya adalah, bagaimana mungkin manusia bisa mengategorikan sebuah peristiwa sebagai bentuk kekerasan, jika ia tak mengenal kelembutan? Begitupun sebaliknya.

Oleh karena itu, melihat kekerasan tidak perlu mempertentangkan antara kewajaran atau ketidakwajaran terhadap tatanan nilai ideal. Lebih sederhana dari itu, ia hanyalah sebuah konsep yang lahir dari tatanan nilai-nilai ideal. Tinggi rendahnya seseorang menerapkan nilai ideal tersebut, akan menghasilkan efek pengetahuan yang setara pada pembandingnya.

Mengutip apa yang sering dikatakan Biksu Tong, “Isi adalah kosong dan kosong adalah isi.” Tak mungkin ada isi jika tak ada kosong, tak mungkin juga ada kosong jika tak ada isi. Isi berawal dari kosong, begitupun kosong, berawal dari isi. [hers]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar