—Herlambang. S. W
MENILIK MASALAH
kekerasan, memang tak pernah habis untuk dibicarakan. Cerita dari waktu ke
waktu membuktikan, bahwa kekerasan sudah ada semenjak turunan pertama
Adam-Hawa. Cerita yang bukan hanya
cerita, tetapi sudah menjadi bagian keimanan dari pemeluk agama samawi. Sebagai
bagian dari iman, tentu saja cerita tersebut sifatnya dogmatis dan bukan untuk
diperdebatkan.
Atau
dalam epos Mahabarata yang sangat terkenal di penjuru dunia. Jelas sekali digambarkan
bagaimana benturan dua sisi dari sifat manusia, —baik-buruk, benar-salah dan
sebagainya. Sayangnya benturan tersebut harus diselesaikan dengan wujud masif
kekerasan. Pertempuran di Kuru Setra, yang menghabiskan hampir semua wangsa
Baratha terutama wangsa Kuru atau Kurawa.
Pertempuran
yang akhirnya dianggap menyimpan pesan moral, bahwa kebenaran , kebaikan dan
segala nilai ideal yang diharapkan dalam kehidupan, akan selalu menang. Sesuatu
yang terasa naif, karena kekerasan kemudian diabaikan dan seolah menjadi
pembenaran jika dilakukan atas dasar nilai-nilai ideal tersebut.
Melangkah
jauh setelah epos tersebut, sejarah dunia kembali mencatat kekerasan masif umat
manusia melalui Perang Dunia 1 dan 2. Bukan tentang apa alasan perang tersebut
bisa terjadi, hanyalah bukti lain bahwa
sifat agresi manusia selalu lebih menonjol, terlepas di pihak mana ia berada.
Pertempuran-perlawanan, bukankah keduanya mengandung unsur kekerasan? Bahkan
dalam diplomasi sekalipun, kekerasan lisan atau tulisan selalu turut serta
dengan penekanan atau intonasi.
Masa-masa
peperangan, memang telah berakhir bagi beberapa negara. Namun, apakah itu
berarti berakhir pula kekerasan? Jawabnya, tidak! Bahkan di negara yang
mengedepankan hukum sekalipun. Terutama dengan kemajuan teknologi yang semakin
pesat, kekerasan telah berevolusi dan bermutasi ke bentuk lain yang bersifat
laten. Ia hadir dalam ragam kamuflase
visual dan leksikal, dalam tayangan dan buku-buku cerita. Sayangnya, bentuk
bentuk tersebut telah menjadi komoditas keseharian sehingga jarang disadari.
Pembiasaan dan pembiaran yang kemudian dianggap sebagai suatu hal yang biasa,
lumrah atau wajar.
TAK PERLU DITANYA kenapa atau bagaimana
kekerasan itu bisa hadir. Yang lebih penting adalah, bagaimana manusia mengenal
kekerasan? Tentunya sangat berkaitan dengan masalah sosialisasi dan
internalisasi.
Dalam
teori sosial dan kemasyarakatan dikatakan bahwa, keluarga adalah agen sosialisasi
pertama dan utama yang juga merupakan struktur terkecil dari masyarakat. Itu
berarti bahwa keluarga memiliki peranan dan tanggungjawab terpenting dalam
meletakkan nilai-nilai ideal bagi individu sebelum memasuki kehidupan
bermasyarakat.
Pada
tataran ini, pendekatan sosialisasi lebih dilihat sebagai pola asuh keluarga.
Orang tua pasti pasti akan mengajarkan anaknya untuk bersikap dan bertingkah
laku baik. Contoh sederhana, orang tua akan melarang anaknya untuk memukul atau
mencubit orang lain. Namun apakah larangan dan ajaran tersebut bisa dimengerti
oleh anak? Sepertinya, semua sudah tahu jawabannya. Anak akan menurut, tapi
belum tentu paham —bisa jadi tak mungkin paham.
Di
era modern yang ditandai dengan perguliran arus informasi dan teknologi yang
sangat deras. Tak bisa dipungkiri jika pola asuh kemudian dibubuhi dengan
pengenalan teknologi. Bahwa siapapun orang tua pasti akan mengajak atau
meninggalkan anaknya untuk menonton TV, itu adalah kewajaran. Dianggap lebih
wajar lagi jika orang tua menyeleksi tontonan anaknya pada tayangan-tayangan
yang sesuai dengan kategori usianya. Pada tahap ini sosialisasi teknologi telah
berproses.
Sebuah
kenyataan, jika film kartoon adalah tayangan yang dianggap cocok dan tidak
berbahaya untuk anak. Adalah sebuah pemahaman orang tua yang memang diwariskan
dari generasi di atasnya. Pemahaman yang telah terinternalisasi (mendarah
daging). Namun jika diamati, berapa banyak film kartoon yang tidak mengandung
unsur kekerasan? Kiranya tak perlu data statistik untuk membuktikan kenyataan,
bahwa sebagian besar memang mengandung unsur kekerasan.
Contoh
kongkret adalah film tentang kucing dan tikus yang telah bertahan selama
puluhan tahun dan menjadi ikon dunia. Kedua tokoh yang diceritakan selalu
bermusuhan itu tak pernah segan untuk
melakukan adegan kekerasan yang bahkan di luar nalar manusia. Atau film-film
yang bertemakan pertempuran.
Kita
boleh saja berkilah, apa yang terjadi dalam film tersebut hanyalah fantasi
belaka. Namun, perlu diingat juga, bahwa seorang anak selain memiliki daya
imaginasi yang tinggi ia juga memiliki
naluri dan sifat meniru yang sama tingginya. Artinya, setiap anak pasti
memiliki kemampuan untuk merekam apa yang ditangkap panca inderanya, lalu
diolah dalam imajinasinya.
Olahan
imajinasi tersebut, direalisasikan dalam bentuk-bentuk sederhana. Misalkan
saja, anak-anak pasti senang menabrak-nabrakkan mobil mainannya atau memiliki
ketertarikan untuk memukul semut hingga mati. Dari mana ia bisa merealisasikan
tindakkan tersebut, jika bukan dari hasil pengamatan dan olahan imajinasinya?
Itu pun berarti bahwa imajinasi selalu diawali dengan proses pengamatan panca
indera, terutama indera penglihatan.
Seorang
anak belum memahami konsep kekerasan, itu betul. Namun pada tahap di atas
proses pengenalan terhadap kekerasan telah terjadi, inilah bibit-bibit
internalisasi kekerasan. —Belum lagi jika melihat tayangan lain yang marak
dalam balutan genre komedi.
ILUSTRASI PERNYATAAN di atas, jelas
sekali menunjukkan bahwa kekerasan adalah bagian yang tidak lepas dari
kehidupan. Jika ditanya apakah kekerasan bisa dihilangkan? Jawabnya sudah pasti, tidak. Alasannya jelas, pengenalan
terhadap kekerasan selalu diberikan secara tidak sadar, semenjak individu masih
berada dalam asuhan keluarga.
Selain
telah terinternalisasi dalam hal-hal kecil yang dianggap wajar, penerapan sudut
pandang lain tentang oposisi biner, setidaknya bisa juga dipakai dasar
penjelasan.
Pemahamannya,
bahwa semua konsep yang ada di dunia ini, selalu berjalan berdasarkan dua sisi
yang berbeda. Artinya, selalu ada lawan yang tegas untuk setiap konsep sebagai
pembanding — hidup-mati, terang-gelap, panjang-pendek, besar-kecil dan
seterusnya, termasuk kekerasan-kelembutan.
Menghilangkan
salah satu konsep, berarti mengabaikan konsep pembandingnya. Secara ekstrim,
menghilangkan kekerasan berarti juga menghilangkan kelembutan. Bukankah sesuatu
disebut ada karena adanya sesuatu lain yang menjadi pembandingnya? Tak mungkin
ada besar jika tak ada kecil, tak mungkin ada benar jika tak ada salah dan
seterusnya.
Karena
tatanan oposisi biner, hal yang sama pastinya akan terjadi saat kelembutan
dihilangkan, secara otomatis kekerasan pun akan hilang. Kenapa demikian? Sederhana
saja, karena tak ada lagi pembanding untuk dijadikan parameter. Pertanyaan
sekaligus pernyataan dasarnya adalah, bagaimana mungkin manusia bisa
mengategorikan sebuah peristiwa sebagai bentuk kekerasan, jika ia tak mengenal
kelembutan? Begitupun sebaliknya.
Oleh
karena itu, melihat kekerasan tidak perlu mempertentangkan antara kewajaran atau
ketidakwajaran terhadap tatanan nilai ideal. Lebih sederhana dari itu, ia
hanyalah sebuah konsep yang lahir dari tatanan nilai-nilai ideal. Tinggi
rendahnya seseorang menerapkan nilai ideal tersebut, akan menghasilkan efek
pengetahuan yang setara pada pembandingnya.
Mengutip
apa yang sering dikatakan Biksu Tong, “Isi adalah kosong dan kosong adalah
isi.” Tak mungkin ada isi jika tak ada kosong, tak mungkin juga ada kosong jika
tak ada isi. Isi berawal dari kosong, begitupun kosong, berawal dari isi. [hers]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar