Sabtu, 21 September 2013

Benarkah Harus Pandai Dalam Menulis?


ilustrasi: www.langitberita.com
Hari Minggu kemarin di kedai kopi, saya ditanya oleh salah seorang teman “Masih suka menulis?” Pertanyaan yang saya benarkan saat itu juga diikuti dengan ajakan untuk menulis. Pertanyaan yang juga ditanggapi dengan pernyataan santai, bahwa dia tak bisa menulis karena tak cukup pandai.


Medengar pernyataan tersebut, terus terang, saya menjadi heran. Jika tonggak sejarah dalam kebudayaan diawali dengan pengenalan manusia pada tulisan. Lantas kenapa di zaman yang telah disebut beradab ini masih ada orang yang menganggap diri tak bisa menulis? Atau kegiatan menulis telah bermutasi sedemikian rupa hingga seolah-olah hanya diperuntukkan bagi kasta akademisi? Atau menulis memang kegiatan yang sengaja di-eksklusif-kan, dengan tujuan pemurnian peran-peran dalam masyarakat? Ahaha,,, entahlah, kiranya hanya dugaan saya yang terlalu jauh.

Bagi saya, tidak perlu pandai untuk menulis, justru dengan menulis kita bisa menjadi pandai. Bagaimanapun menulis tidak hanya menuangkan ide atau curahan hati, menulis adalah rangkuman dari berbagai ide, konsep, definisi, masalah berikut pemecahannya. Penulis menjadi pandai karena dalam prosesnya melalui banyak tahap, tanggap pada situasi/masalah (peka), berfikir (penalaran), membaca, menulis dan kembali membaca dan seterusnya.

Tak perlu takut juga dikatakan jelek, karena pada dasarnya tak ada tulisan yang jelek. Yang ada hanyalah perbedaan cara/gaya menulis, termasuk kesepahaman dan pemahaman. Hal itu wajar, karena tiap kepala memiliki interpretasi dan daya telaah yang berbeda. Karenanya tak perlu menyamakan diri dengan orang lain saat menulis.
Jangan takut juga dikatakan goblok oleh orang lain saat menulis, terlebih saat menghadapi kesalahan, karena menurut Om Bob Sadino, “Semakin goblok seseorang, kian banyak ilmu yang diperolehnya. Saya menggoblokkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menggoblokkan orang lain.”

Yang perlu ditakutkan justru saat kita tak pernah merasa dan berbuat salah. Bukankah kebenaran itu ada karena adanya kesalahan? Bagaimana bisa berbuat benar jika tak tahu perbuatan salah?
Kiranya cukup sekian curhat saya, meski dari lubuk hati yang paling dalam, saya tak rela menggoblokkan diri apalagi digoblokkan. Karenanya, abaikan saja paragraf tersebut.

Haddeuhh,, Om Bob, Om Bob!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar